Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus), Abdul Qohar, peran Tom dalam kasus ini adalah memberikan izin impor gula kristal mentah (GKM) sebesar 105.000 ton kepada PT AP pada tahun 2015.
Padahal, hasil rapat koordinasi antarkementerian pada 12 Mei 2015 menyatakan Indonesia memiliki surplus gula, sehingga impor sebenarnya tidak diperlukan.
“Meski kondisi gula nasional sedang surplus, Tom Lembong tetap mengeluarkan izin Persetujuan Impor (PI) untuk PT AP,” kata Qohar seperti dikutip pada Rabu (30/10/2024).
Lebih lanjut, izin yang diberikan oleh Tom juga dianggap menyalahi aturan karena sesuai Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 tahun 2004, hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berhak mengimpor gula kristal putih (GKP).
Namun, gula kristal mentah tetap diizinkan masuk melalui PT AP untuk diolah menjadi GKP. Selain tidak memenuhi prosedur yang melibatkan rapat koordinasi instansi terkait, impor ini dinilai berdampak pada stabilitas harga gula.
Sementara itu, keterlibatan CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, juga ditemukan dalam keputusan impor gula pada 2015.
Dalam rapat Kemenko Perekonomian, diputuskan bahwa Indonesia membutuhkan tambahan gula kristal putih (GKP) sebanyak 200.000 ton untuk tahun 2016.
CS, yang ikut dalam pertemuan ini, kemudian menginstruksikan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta untuk mengelola impor gula kristal mentah yang nantinya dijual dengan harga di atas harga eceran tertinggi (HET), yaitu Rp 16.000 per kilogram.
Atas tindakan tersebut, negara diperkirakan mengalami kerugian mencapai Rp 400 miliar. Tom Lembong dan CS kini menghadapi ancaman Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Baca Juga: Daftar Kepala Badan yang Tergabung di Kabinet Merah Putih Prabowo