Warungberita.com – Redenominasi rupiah merupakan istilah yang kerap muncul dalam wacana ekonomi nasional, terutama ketika pemerintah dan Bank Indonesia membahas reformasi nilai mata uang. Secara sederhana, redenominasi adalah penyederhanaan nominal uang dengan menghilangkan beberapa nol tanpa mengubah nilai riil atau daya belinya.
Misalnya, uang Rp1.000 setelah redenominasi menjadi Rp1, namun harga barang dan nilai tukarnya tetap sama. Kebijakan ini tidak sama dengan sanering, yang biasanya dilakukan karena inflasi tinggi dan berdampak pada penurunan nilai uang.
Tujuan utama redenominasi adalah meningkatkan efisiensi sistem pembayaran, memudahkan pencatatan transaksi, serta memperkuat citra mata uang di mata internasional.
Dalam konteks psikologis, penyederhanaan angka pada rupiah juga diharapkan membangun persepsi positif terhadap stabilitas ekonomi. Negara-negara seperti Turki, Rusia, dan Korea Selatan telah lebih dulu melaksanakan kebijakan serupa dengan hasil yang cukup efektif, terutama dalam memperbaiki tata kelola moneter jangka panjang.
Gagasan redenominasi di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Wacana ini sudah muncul sejak awal 2010-an, tepatnya ketika Bank Indonesia pada masa kepemimpinan Darmin Nasution mulai menyusun rencana teknisnya.
Saat itu, BI menilai kondisi ekonomi makro Indonesia cukup stabil dengan inflasi terkendali dan pertumbuhan positif, sehingga momentum untuk penyederhanaan mata uang dianggap tepat. Namun, perubahan pemerintahan dan dinamika politik membuat rencana tersebut belum terealisasi hingga kini.
Jika ditelusuri lebih jauh, ide redenominasi rupiah memiliki akar sejarah panjang. Pada era awal kemerdekaan, Indonesia pernah mengalami beberapa kali perubahan mata uang akibat transisi dari masa penjajahan dan kondisi ekonomi yang belum stabil.
Pada 1950-an hingga 1960-an, pemerintah bahkan sempat melakukan kebijakan sanering yang memotong nilai uang untuk menekan inflasi.
Berbeda dengan sanering, redenominasi dirancang saat ekonomi stabil, bukan sebagai tindakan darurat. Karena itu, langkah ini memerlukan persiapan matang, termasuk sosialisasi kepada masyarakat dan pembenahan sistem akuntansi serta teknologi keuangan.
Secara teori, keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada kepercayaan publik terhadap kestabilan ekonomi dan kredibilitas otoritas moneter.
Tanpa dukungan masyarakat dan pelaku usaha, proses transisi bisa menimbulkan kebingungan bahkan spekulasi harga. Oleh sebab itu, Bank Indonesia menegaskan bahwa sebelum kebijakan ini diterapkan, harus ada periode edukasi dan masa transisi yang cukup panjang agar masyarakat terbiasa dengan nominal baru tanpa panik atau salah persepsi.
Dalam konteks globalisasi ekonomi saat ini, redenominasi rupiah dapat menjadi simbol kepercayaan diri bangsa terhadap kondisi ekonomi nasional.
Selain menegaskan kestabilan makroekonomi, kebijakan ini juga dapat memudahkan transaksi lintas negara, sistem akuntansi, hingga perdagangan digital. Meskipun wacana ini sempat tertunda, banyak ekonom menilai bahwa redenominasi tetap relevan selama dilakukan secara hati-hati dan terukur.
Dengan kata lain, redenominasi rupiah bukan sekadar menghapus nol di lembar uang, tetapi juga langkah strategis untuk membangun citra, efisiensi, dan kredibilitas ekonomi Indonesia di mata dunia.
